Sabtu, 29 September 2012

Memahami Pelaksanaan Sertifikasi Bibit Ternak Sapi


Sertifikasi dapat diartikan sebagai penerbitan sertifikat terhadap ternak dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas ternak sapi. Sertifikat berhak dikeluarkan oleh pembibit yang telah tersertifikasi oleh lembaga sertifikasi produk atau yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian. Untuk dapat memperoleh sertifikat ini, pembibit diharuskan oleh Direktorat Perbibitan Direktur Jenderal Peternakan untuk menerapkan Good Breeding Practice (GBP), yaitu pedoman pembibitan ternak yang baik.
Tema mengenai pelaksanaan sertifikasi bibit ternak sapi diulas oleh Ir. I Gede Suparta Budisatria, M.Sc., Ph.D dalam Pelatihan Teknis Agribisnis Ternak Sapi Potong bagi aparatur Dinas Pertanian Provinsi DIY, Senin (10/9) di Ruang Sidang Besar Fakultas Peternakan. Menurut Gede, salah satu hal penting untuk dapat dilaksanakannya sertifikasi adalah penetapan garis keturunan ternak atau bangsa yang jelas. “Idealnya, sertifikasi dapat dilaksanakan apabila ternak sudah diakui dengan surat dari SK Menteri Pertanian melalui penetapan rumpun atau galur. Saat ini, pemerintah melalui Direktur Perbibitan sedang gencar-gencarnya melakukan penetapan rumpun ternak. Penetapan rumpun dinilai urgent karena ternak-ternak kita sudah banyak dilirik,” jelas Kepala Laboratorium Ternak Potong, Kerja dan Kesayangan Fakultas Peternakan tersebut.
Sertifikasi idealnya dikeluarkan oleh asosiasi namun saat ini di Indonesia sertifikasi ternak dapat dikerluarkan oleh lembaga sertifikasi yang terakreditasi atau yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian, Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu (LSSM) dan Lembaga Sertifikasi Produk (LS Pro) bibit yang terakreditasi kemudian pelaksanaan sertifikasi bibit diterbitkan oleh pembibitan yang telah memiliki sertifikat sistem mutu atau dinas provinsi.
Mengapa sertifikasi diperlukan? Gede menjelaskan ada beberapa hal mengapa sertifikasi ternak menjadi penting. Pertama, sertifikasi dilakukan untuk mengamankan plasma nutfah karena saat ini banyak negara sangat tertarik dengan keanekaragaman ternak Indonesia. Kedua, sertifikasi diperlukan guna meningkatkan daya saing produk bibit. Selama ini, pemerintah tidak pernah memberikan penghargaan terhadap peternak-peternak yang melakukan pembibitan dan tidak pernah ada standarisasi yang kemudian dimasukkan ke dalam kelas bibit. Akhirnya, wajar apabila peternak lebih suka melakukan kawin suntik atau melakukan penggemukan terhadap ternaknya. Ketiga, sertifikasi memberikan kesempatan untuk menerapkan pelaksanaan pembibitan ternak yang baik dan melindungi konsumen dari bibit tidak standar.
Bagi peternak, penerapan Good Breeding Practice dalam rangka memperoleh sertifikasi dinilai berat karena banyaknya checklist sertifikasi yang harus dipenuhi antara lain catatan sumber air, catatan RUTR wilayah setempat, catatan AMDAL lokasi unit pembibitan, dan sebagainya. “Sulit tapi inilah poin-poin yang akan dinilai,” kata Gede.
Untuk memperoleh sertifikasi, Gede menjelaskan proses-proses yang harus dilalui oleh peternak. Pertama, pembibit diminta untuk mengirimkan surat kepada Direktur Perbibitan yang isinya menyatakan bahwa telah melakukan GBP. Kemudian, Direktur Perbibitan akan mengirimkan petugas untuk melakukan verifikasi dokumen yang dilanjutkan dengan tinjauan lapangan. Tim verifikasi akan membuat rangkuman mengenai poin-poin yang sudah ataupun belum memenuhi checklist yang telah dibuat pembibit. Apabila ditemukan poin-poin yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, maka perlu dilakukan revisi. Peternak berhak memperoleh sertifikasi yang berlaku selama 3 tahun setelah mampu memenuhi persyaratan sertifikasi yang ditetapkan oleh Direktur Perbibitan.  (Humas Fapet/Nadia)

 "Saya Tunggu Komentar dan Saran Anda"

Sumber :  http://fapet.ugm.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar