Sertifikasi
dapat diartikan sebagai penerbitan sertifikat terhadap ternak dengan
tujuan untuk meningkatkan kualitas ternak sapi. Sertifikat berhak
dikeluarkan oleh pembibit yang telah tersertifikasi oleh lembaga
sertifikasi produk atau yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian. Untuk
dapat memperoleh sertifikat ini, pembibit diharuskan oleh Direktorat
Perbibitan Direktur Jenderal Peternakan untuk menerapkan Good Breeding Practice (GBP), yaitu pedoman pembibitan ternak yang baik.
Tema mengenai pelaksanaan sertifikasi
bibit ternak sapi diulas oleh Ir. I Gede Suparta Budisatria, M.Sc., Ph.D
dalam Pelatihan Teknis Agribisnis Ternak Sapi Potong bagi aparatur
Dinas Pertanian Provinsi DIY, Senin (10/9) di Ruang Sidang Besar
Fakultas Peternakan. Menurut Gede, salah satu hal penting untuk dapat
dilaksanakannya sertifikasi adalah penetapan garis keturunan ternak atau
bangsa yang jelas. “Idealnya, sertifikasi dapat dilaksanakan apabila
ternak sudah diakui dengan surat dari SK Menteri Pertanian melalui
penetapan rumpun atau galur. Saat ini, pemerintah melalui Direktur
Perbibitan sedang gencar-gencarnya melakukan penetapan rumpun ternak.
Penetapan rumpun dinilai urgent karena ternak-ternak kita sudah
banyak dilirik,” jelas Kepala Laboratorium Ternak Potong, Kerja dan
Kesayangan Fakultas Peternakan tersebut.
Sertifikasi idealnya dikeluarkan oleh
asosiasi namun saat ini di Indonesia sertifikasi ternak dapat
dikerluarkan oleh lembaga sertifikasi yang terakreditasi atau yang
ditunjuk oleh Menteri Pertanian, Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen
Mutu (LSSM) dan Lembaga Sertifikasi Produk (LS Pro) bibit yang
terakreditasi kemudian pelaksanaan sertifikasi bibit diterbitkan oleh
pembibitan yang telah memiliki sertifikat sistem mutu atau dinas
provinsi.
Mengapa sertifikasi diperlukan? Gede
menjelaskan ada beberapa hal mengapa sertifikasi ternak menjadi penting.
Pertama, sertifikasi dilakukan untuk mengamankan plasma nutfah karena
saat ini banyak negara sangat tertarik dengan keanekaragaman ternak
Indonesia. Kedua, sertifikasi diperlukan guna meningkatkan daya saing
produk bibit. Selama ini, pemerintah tidak pernah memberikan penghargaan
terhadap peternak-peternak yang melakukan pembibitan dan tidak pernah
ada standarisasi yang kemudian dimasukkan ke dalam kelas bibit.
Akhirnya, wajar apabila peternak lebih suka melakukan kawin suntik atau
melakukan penggemukan terhadap ternaknya. Ketiga, sertifikasi memberikan
kesempatan untuk menerapkan pelaksanaan pembibitan ternak yang baik dan
melindungi konsumen dari bibit tidak standar.
Bagi peternak, penerapan Good Breeding Practice dalam rangka memperoleh sertifikasi dinilai berat karena banyaknya checklist sertifikasi
yang harus dipenuhi antara lain catatan sumber air, catatan RUTR
wilayah setempat, catatan AMDAL lokasi unit pembibitan, dan sebagainya.
“Sulit tapi inilah poin-poin yang akan dinilai,” kata Gede.
Untuk memperoleh sertifikasi, Gede
menjelaskan proses-proses yang harus dilalui oleh peternak. Pertama,
pembibit diminta untuk mengirimkan surat kepada Direktur Perbibitan yang
isinya menyatakan bahwa telah melakukan GBP. Kemudian, Direktur
Perbibitan akan mengirimkan petugas untuk melakukan verifikasi dokumen
yang dilanjutkan dengan tinjauan lapangan. Tim verifikasi akan membuat
rangkuman mengenai poin-poin yang sudah ataupun belum memenuhi checklist yang
telah dibuat pembibit. Apabila ditemukan poin-poin yang tidak sesuai
dengan kondisi di lapangan, maka perlu dilakukan revisi. Peternak berhak
memperoleh sertifikasi yang berlaku selama 3 tahun setelah mampu
memenuhi persyaratan sertifikasi yang ditetapkan oleh Direktur
Perbibitan. (Humas Fapet/Nadia)
"Saya Tunggu Komentar dan Saran Anda"
Sumber : http://fapet.ugm.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar